BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman vanili
merupakan tanaman tahunan yang tergolong dalam jenis tanaman anggrek dari suku
(famili) Orchidaceae yang memiliki banyak macam spesies (lebih dari 1500
spesies). Vanilla planifolia merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang
bernilai ekonomi tinggi dengan fluktuasi harga yang relatif stabil dibandingkan
dengan tanaman perkebunan yang lain. Tanaman vanili bernilai ekonomi cukup
tinggi karena ekstrak buahnya yang dikenal sebagai sumber bahan pengharum pada
bahan makanan dan minuman. Aroma yang khas dari hasil ekstrak buah vanili
disebabkan oleh substansi vanilin (C8H8O3)(Brownell, 1992).
Sistem
perakaran pada tanaman vanili tidak memiliki sistem akar tunggang, karena
vanili termasuk ke dalam tanaman monokotil. Pada tiap ruas batang vanili,
tumbuh dua jenis akar, dimana yang satu berfungsi untuk melekat pada tanaman
penegak yang disebut sulur dahan, sedangkan bagian akar yang lainnya merupakan
akar yang menggantung di udara yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam
tanah jika akar tersebut telah menyentuh tanah. Batang tanaman vanili mampu
tumbuh memanjang sampai mencapai 100 meter dan memiliki ruas-ruas yang panjang
rata-rata sekitar 15 cm. Tiap ruas akan menghasilkan cabang baru apabila dilakukan
pemangkasan (Ruhnayat, 2003).
Tanaman vanili
di Indonesia di Indonesia banyak digemari oleh banyak konsumen, baik di dalam
negeri maupun dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena kualitas vanili
Indonesia yang lebih unggul dibandingkan vanili Mexico, Amerika Serikat,
Madagaskar yang juga terkenal sebagai penghasil vanili yang cukup berkualitas.
Atas dasar inilah perlu dikembangkan suatu metode budidaya tanaman vanili yang
mampu menghasilkan bibit-bibit vanili dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat
atau cepat yang berkualitas (Sa’id, 2001).
Teknik kultur
jaringan merupakan metode yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Salah satu perbanyakan tanaman vanili secara in vitro yang efisien adalah
dengan mengkulturkan nodus. Menurut Brownell
dalam Salisbury, B.F dan Ross, W.Cleon (1995),
sitokinin merupakan faktor yang esensial dalam pembelahan sel dan diferensiasi
jaringan dalam membentuk tunas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan Elongasi
tunas Vanilla planifolia dari eksplan nodus terlihat setelah 5 sampai 6 minggu
pengkulturan dalam media MS dengan penambahan 0,5 ppm 6-Benzylaminopurin (BAP).
Berdasarkan penelitian tersebut,
dperoleh hasil bahwa penambahan BAP dan Kinetin dengan konsentrasi 0-1 ppm
dalam media MS modifikasi mampu memacu pertumbuhan tunas Vanilla planifolia
dari eksplan nodus dan setengah nodus, dimana penggunaan media MS modifikasi
dengan penambahan 0,5 ppm. Kinetin pada eksplan nodus menghasilkan pertumbuhan
tunas yang baik selama kurun waktu satu bulan (Prasetya, 1994). Hal tersebut
selain tidak diterapkannya teknologi yang dianjurkan juga disebabkan oleh
pengaruh ketika harga rendah di pasaran, yang berakibat banyak tanaman
dibiarkan tidak terawat, pohon pelindung dan gulma menutupi sekitar tanaman
vanili sehingga lingkungan menjadi lembab dan akibatnya muncul penyakit busuk
batang. Sebaliknya ketika harga tinggi petani bersemangat memelihara
tanamannya. Penyakit busuk batang vanili jika dibiarkan akan mengganggu
pertumbuhan tanaman vanili, sehingga dapat menyebabkan kematian bagi tanaman
tersebut. Mengingat posisi vanili Indonesia yang saat ini termasuk negara kedua
di dunia, penghasil vanili setelah Madagaskar, tentunya harus dipertahankan dan
bahkan ditingkatkan. Berbagai tantangan dan peluang perlu mendapat perhatian.
Penanganan teknologi budidaya dan penyakit melalui pola tanam perlu dipikirkan,
karena saat ini penanaman vanili sebagian besar monokultur sehingga saat harga
vanili jatuh, petani tidak bersemangat untuk memeliharanya dan tanaman
dibiarkan tidak terpelihara yang mengakibatkan produktivitasnya menurun.
Melalui pola tanam diharapkan dapat mendukung peningkatan produktivitas lahan,
sehingga petani memiliki alternatif lain selain panili untuk menunjang
kebutuhan hidupnya (Saragih, 2000). Adanya penyakit busuk batang vanili yang
masih belum teratasi merupakan tantangan yang harus dihadapi, karena adanya
penyakit ini akan berpengaruh terhadap pendapatan petani. Oleh karenanya upaya
penelitian ke arah mendapatkan varietas tahan penyakit sangatlah diperlukan. Pengembangan
tanaman vanili di Indonesia menghadapi kendala sulitnya mendapatkan bibit yang
tahan terhadap penyakit serta bermutu tinggi, yaitu ukuran buah besar dan kadar
vanilinnya tinggi (Tjahjadi, N., 1987). Salah satu penyakit penting pada panili adalah
penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum.
Penyakit tersebut dapat menggagalkan panen sampai 85% (). F. oxysporum menyerang
berbagai jenis tanaman, antara lain tomat, kentang, dan tanaman hias seperti
lili, tulip, krisan, gladiol, dan anyelir (). F. oxysporum menyerang
tanaman melalui ujung akar lateral atau ujung akar utama, kemudian bergerak
secara interseluler atau intraseluler dalam jaringan parenkim (Endang, 2006).
Adanya kekhawatiran efek samping terhadap kesehatan dalam
menggunakan bahan-bahan sintetis, akan mendorong perkembangan penggunaan vanili
alamiah. Luasnya wilayah yang sesuai untuk tanaman vanili berdasarkan kajian
lahan dan iklim di Indonesia, menunjukkan bahwa lahan cukup tersedia bagi
pengembangan tanaman vanili. Tingginya jumlah penduduk Indonesia khususnya
penduduk usia kerja menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja juga cukup
banyak. Masih adanya penyakit busuk batang vanili perlu diteliti lebih lanjut
untuk mendapatkan varietas yang tahan terhadap penyakit tersebut. Mengingat
kebutuhan dunia sekitar 2000 ton dan kita baru mengekspor 729 ton,
memperlihatkan bahwa peluang bersaing dengan negara lainnya masih tetap ada.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk mendukung pengembangan vanili di
Indonesia diperlukan strategi yang tepat agar tingkat produktivitas tanaman dan
pendapatan petani panili selalu pada kondisi yang baik dan berkelanjutan
(Rosmarkam, 2005).
Teknik kultur jaringan telah dapat
diaplikasikan pada vanili untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap
penyakit. Teknik yang dapat dikembangkan antara lain adalah melalui induksi
keragaman somaklonal, seleksi in vitro, dan penyelamatan embrio hasil
persilangan antara vanili liar dan vanili budi daya.Tanaman vanili (Vanilla
planifolia andrew) pada umumnya dikembangbiakkan secara vegetatif. Bibit yang umum digunakan
berupa setek panjang yang diambil dari sulur yang mata tunasnya belum pernah
berbuah. Keuntungan teknik tersebut adalah tanaman akan berbuah 1 – 2 tahun
setelah tanam, namun teknik tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu diperlukan
bahan tanam dalam jumlah besar. Untuk mengatasi masalah tersebut akhir-akhir
ini banyak diusahakan penggunaan setek ruas yang berproduksi dalam waktu yang
tidak berbeda jauh dengan setek panjang (Rosman, 2005). Teknik setek sampai saat ini
belum dapat diandalkan untuk pengembangan klon-klon unggul baru vanili, karena
kecepatan produksi bibit masih rendah dan jumlah tanaman induk yang
dikembangkan masih terbatas. Untuk mendapatkan tanaman yang seragam dengan induknya
dalam jumlah besar dengan kualitas buah yang baik dapat diperoleh dari
perbanyakan secara in vitro (Priyono, 2006). Kultur in vitro dengan
mempergunakan berbagai zat pengatur tumbuh dan berbagai eksplan sangat
menguntungkan dalam perbanyakan tanaman. Perbanyakan tanaman melalui kultur in
vitro memungkinkan dikembangkannya agroindustri, tidak terkecuali pada
vanili. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui cara perbanyakan eksplan vanili secara in vitro.
BAB
II
ISI
2.1 Sejarah dan karakteristik tanaman vanili (Vanilla
planifolia Andrews atau Vanilla fragrans),
Tanaman vanili (Vanilla
planifolia) mempunyai sistem klasifikasi sebagai berikut (Plantamor.com) :
Kiingdom : Plantae
Subkingdom :
Tracheobionta
Superdivisi :
Spermatophyta
Divisi :
Magnoliophyta
Kelas :
Liliopsida
Subkelas :
Liliidae
Ordo :
Orchidales
Famili :
Orchidaceae
Genus :
Vanilla
Spesies :
Vanilla planifolia Andrews
Tanaman vanili (Vanilla planifolia Andrews atau Vanilla
fragrans) bukanlah tanaman asli Indonesia. Secara historis, tanaman tahunan
ini baru masuk ke Indonesia pada tahun 1819. Namun demikian, tanaman vanili
tumbuh lebih subur dan lebih produktif di Indonesia yang beriklim tropis,
dibandingkan dengan negara asalnya (Mexico) dan negara produsen vanili alinnya.
Bahkan, menurut Rosman(2005),
kualitas vanili Indonesia yang dikenal dengan “Java Vanili” masih yang terbaik
di Dunia. Hal ini didasarkan atas kadar vanilinya yang cukup tinggi, yakni
sekitar 2,75 persen. Kadar tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar
vanili Madagaskar yang hanya 1,91-1,98 persen, Tahiti 1,55-2,02 persen, Mexico
1,89- 1,98 persen, dan Sri Lanka 1,48 persen. Jika ditinjau dari perspektif
spasial dan bisnis, maka Indonesia unggul secara komparatif dibanding
negara-negara produsen vanili lainnya di dunia. Secara umum, vanili bernilai
ekonomis tinggi dan fluktuasi harganya relatif stabil jika dibandingkan dengan
tanaman perkebunan lainnya. Namun pada kenyataannya ironi, meskipun kualitas vanili
Indonesia menduduki posisi paling tinggi di Dunia, tetapi secara kuantitas
Indonesia baru bisa memasok sekitar 10 persen dari total kebutuhan pasar dunia (Tjahjadi, 1987).
2.2 Metode
pengembangan tanaman vanili (Vanilla planifolia)
Vanili
(Vanilla planifolia A.) merupakan salah satu tanaman industri yang
banyak memberikan sumbangan pendapatan bagi petani maupun sumber devisa. Produk
tanaman vanili umumnya digunakan sebagai penambah aroma berbagai jenis makanan
dan minuman. Tanaman vanili yang dikembangkan saat ini memiliki keragaman
genetik yang sempit, terutama untuk ketahanan terhadap penyakit, karena tanaman
tersebut selalu diperbanyak secara vegetatif (Seragih, 2000). Padahal,
keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu modal untuk mendapatkan varietas
unggul (Setyati, 1996). Peningkatan keragaman genetik tanaman vanili dapat
dilakukan dengan memberikan mutagen baik fisik maupun kimia. Mutagen fisik yang
digunakan pada umumnya bersifat sebagai radiasi pengion, seperti sinar x, sinar
gamma, sinar beta, dan partikel akselerator (Giancoli, 1997).
Selain melalui keragaman somaklonal, dapat
pula dikembangkan metode seleksi in vitro, yaitu dengan mengkulturkan
massa sel atau sel pada media yang mengandung metabolit dari patogen, yaitu
toksin yang telah dimurnikan yang disebut asam fusarat. Selain itu dapat pula
digunakan filtrat dari F. oxysporum. Peluang aplikasi teknik tersebut
untuk memperoleh varietas panili yang tahan terhadap penyakit sangat besar
(Endang, 2005). Asam fusarat merupakan metabolit yang dihasilkan oleh jamur Fusarium
hetesporum Nee. Secara kimia asam fusarat disebut piridin karboktilat (5
butil asam pikolinat). Asam ini dapat menyebabkan klorosis pada daun muda,
bersifat toksin yang berperan menghambat oksidasi sitokinin, menghambat proses
respirasi pada mitokondria, menurunkan ATP pada plasma membran serta mereduksi
aktivitas polifenol oksidasi sehingga menghambat pertumbuhan dan regenerasi
biakan (Endang, 2006). Kecuali asam fusarat, toksin dan ekstrak F. oxysporum
dapat digunakan sebagai komponen seleksi berdasarkan kenyataan adanya
hubungan antara toleransi terhadap toksin dan ketahanan terhadap penyakit
(Marschner, 1996). Penggunaan kedua macam komponen seleksi tersebut
telah dilakukan pada tomat, alfalfa, seledri, dan ubi jalar. Hasilnya
menunjukkan bahwa somaklon hasil regenerasi massa sel yang tahan terhadap
toksin juga tahan terhadap penyakit, dan sifat tersebut diturunkan pada progeni
maupun generan berikutnya. Alternatif lain untuk mendapatkan tanaman yang tahan
penyakit adalah melalui persilangan antarspesies, yaitu memanfaatkan sumber gen
ketahanan penyakit dari kerabat liarnya antara lain Vanilla albida
(Prasetya, 1994). Permasalahan dalam persilangan konvensional antarspesies
adalah adanya inkompatibilitas seksual dan sterilitas hibridanya (Ruhnayat,
2003). Kultur in vitro dapat dimanfaatkan untuk penyelamatan embrio
hasil persilangan seperti yang telah dilakukan pada anggrek dan padi. Media
tumbuh dalam kultur in vitro berfungsi sebagai endosperm (Sugandi,
1990).
Vanilla planifolia Andrews
merupakan salah satu tanaman dari keluarga Orchidaceae yang buahnya bernilai
ekonomi tinggi (Tjahjadi, 1987). Buah panili dapat digunakan sebagai bahan
campuran makanan dan minuman (Ruhnayat, 2003). Perkembangan luas areal vanili
di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1983 yang hanya 3.786 ha, telah
meningkat pesat hingga lima kali lebih luas menjadi 15.922 ha pada tahun 2003.
Hal tersebut menunjukkan bahwa komoditas vanili memiliki daya tarik yang cukup
besar, dikarenakan nilai ekonominya yang cukup tinggi. Berkembangnya areal
penanaman vanili ini tidak terlepas dari dukungan teknologi yang ada. Pada
tahun 1983 areal pengembangan sebagian besar berada di Lampung dan Pulau Jawa.
Namun dengan berkembangnya teknologi informasi dan banyaknya pertemuan/seminar
yang diadakan oleh berbagai instansi terkait dalam upaya mensosialisasikan
teknologi yang ada dan sedang dilakukan ketika itu, maka penanaman vanili mulai
merambah ke hampir seluruh propinsi di Indonesia. Perkembangan yang
mengembirakan dari segi luas areal tersebut, belum sejalan dengan peningkatan
produktivitas tanaman dan nilai ekonomi (Saragih, 2000).
Produksi vanili Indonesia dapat dikatakan seluruhnya
untuk kebutuhan ekspor. Ekspor vanili Indonesia pada tahun 2003 mencapai 663
ton dengan nilai US$ 18.351.272 (Rosman, 2005). Berdasarkan total tersebut
tidak dikemukakan bagaimana mutu yang diekspor, namun tahun 1998 Rosman membagi mutu yang diekspor adalah mutu
I 27,25%, mutu II 44,69%, dan mutu III 28,16%. Rendahnya sebagian besar mutu
vanili Indonesia ini disebabkan oleh waktu panen yang tidak tepat (petik muda)
maupun proses pasca panen yang kurang tepat. Adanya petik muda juga disebabkan
oleh masalah pencurian/keamanan, permintaan pasar dan kebutuhan ekonomi.
Sebetulnya vanili Indonesia memiliki kadar vanillin yang tinggi (2,75%) dan
dikenal dengan nama Java vanilla beans. Hasil pengamatan di lapang terlihat
juga bahwa sebagian besar kondisi pertanaman vanili di Indonesia relatif kurang
baik pertanamannya.
Hasil dari tanaman vanili adalah buahnya yang bila diolah
hasilnya lebih lanjut dapat berupa buah panili kering, powder, ekstrak buah
panili, dan kristal panili. Hingga kini produk dalam bentuk kristal masih belum
diusahakan di Indonesia. Penelitian ke arah produk-produk jadi ini perlu
dipertimbangkan, tentunya melalui kajian-kajian yang mendalam. Untuk menangani
persaingan dengan produk sintetis, perlu mendapat perhatian. Promosi “back to
nature” yang hingga saat ini terus didengungkan tentu merupakan bagian yang
tidak terpisahkan yang perlu disebarluaskan. Dengan semakin kuatnya isu
mengenai pasar bebas mendorong untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas
agar dapat lebih berperan di pasaran dunia. Belum masuknya Indonesia ke dalam
asosiasi vanili dunia berpeluang untuk memperluas pangsa pasar (Saragih, 2000).
Selain itu, kualitas vanili kita yang juga tinggi kadar vanilinnya. Strategi
pengembangan yang tepat seperti pengembangan ke lokasi yang sesuai, adopsi
tekhnologi budidaya yang mampu meningkatkan produktivitas dan efisien, pola
tanam serta upaya mendapatkan varietas yang tahan penyakit busuk batang panili
perlu mendapat perhatian.
2.3 Kultur Jaringan
Kultur jaringan
dalam bahasa asing disebut sebagai
tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah
sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, kultur
jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil
yang mempunyai sifat seperti induknya (Agustina, 2004). Kultur jaringan akan
lebih besar presentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem.
Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari
sel-sel yang selalu membelah, dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya
kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture.
Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan
mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Brownell, 1992).
Kultur jaringan merupakan salah satu cara
perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik
perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata
tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara
aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang
tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi
menjadi tanaman lengkap (Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, 1991).
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di
tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk
membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit
dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan
mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan
induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu
membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar
dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan
tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional
(Lingga, 1992).
2.3.1 Teori
dasar kultur jaringan
a. Sel dari suatu organisme
multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel
tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
b. Teori Totipotensi Sel (Total Genetic
Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu
mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap (Marsono,
2004).
2.3.2 Aplikasi Teknik
Kultur Jaringan dalam Bidang Agronomi
1.
Perbanyakan
vegetatif secara cepat (Micropropagation).
2.
Membersihkan
bahan tanaman/bibit dari virus
3.
Membantu
program pemuliaan tanaman (Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro,
Variasi Somaklonal, Fusiprotoplas, Transformasi Gen /Rekayasa Genetika Tanaman
dll) (Sa’id, 2001).
4.
Produksi metabolit sekunder.
2.3.4 Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Regenerasi
1. Bentuk
Regenerasi dalam Kultur In Vitro : pucuk aksilar, pucuk adventif, embrio
somatik, pembentukan protocorm like bodies, dll
2. Eksplan adalah bagian
tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman. Faktor
eksplan yang penting adalah genotipe/varietas, umur eksplan, letak pada cabang,
dan seks (jantan/betina). Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagi eksplan
adalah pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm,
ovari muda, anther, embrio, dll.
3. Media tumbuh, di dalam media
tumbuh mengandung komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk
fisik media. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan, antara lain:
Murashige dan Skoog (MS), Woody Plant Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson
dll. Media yang sering digunakan secara luas adalah MS (Rosmarkam,
2005).
4. Zat Pengatur
Tumbuh Tanaman. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ZPT adalah
konsentrasi, urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu. Jenis yang sering digunakan adalah
golongan Auksin seperti Indole Aceti Acid(IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA),
2,4-D, CPA dan Indole Acetic Acid (IBA). Golongan Sitokinin seperti Kinetin,
Benziladenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA. Golongan Gibberelin
seperti GA3. Golongan zat penghambat tumbuh seperti Ancymidol, Paclobutrazol,
TIBA, dan CCC (Priyono, 2006).
5. Lingkungan Tumbuh. Lingkungan tumbuh
yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi temperatur, panjang
penyinaran, intensitas penyinaran, kualitas sinar, dan ukuran wadah kultur.
2.3.5 Media kultur
jaringan
Media merupakan
faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media
yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media
yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain
itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat
pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media
yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media
yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan
autoklaf.
Biasanya, komposisi media yang digunakan adalah sebagai berikut (Agustina,
2004) :
Ammonium nitrate (NH4NO3)
1,650 mg/l
Boric acid (H3BO3)
6.2 mg/l
Calcium chloride
(CaCl2 · H2O) 440 mg/l
Cobalt chloride
(CoCl2 · 6H2O) 0.025 mg/l
Magnesium sulfate
(MgSO4 · 7H2O) 370 mg/l
Cupric sulfate
(CuSO4 · 5H2O) 0.025 mg/l
Potassium
phosphate (KH2PO4) 170 mg/l
Ferrous sulfate
(FeSO4 · 7H2O) 27.8 mg/l
Potassium nitrate
(KNO3) 1,900 mg/l
Manganese sulfate
(MnSO4 · 4H2O) 22.3 mg/l
Potassium iodine
(KI) 0.83 mg/l
Sodium molybdate
(Na2MoO4 · 2H2O) 0.25 mg/l
Zinc sulfate
(ZnSO4 · 7H2O) 8.6 mg/l
Na2EDTA · 2H2Oa 37.2 mg/lb
2.3.6 Tahapan yang
dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah (Brownell,
1992) :
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan
dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur
jaringan adalah tunas.
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus
dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril.
Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang
disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang
melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan
menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang
menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami
ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan
suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya
pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan
mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat
pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh
bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala
seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan
bakteri).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan
aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu
dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara
luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat
rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar.
Setelah bibit mampu beradaptasi dengan
lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan
bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha
kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang
dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati,
sengon, akasia, dll. Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal
menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang
sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif
lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih
generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal
ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih
cepat (Komaryanti, 1994).
2.4 Teknik Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan sangat
sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan tanaman yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan
dan dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril.
dengan cara demikian sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami
proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus
yang terbentuk dipindahkan kedlam medium diferensiasi yang cocok, maka akan
terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu
irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi planlet dalam jumlah yang
besar (Lingga, 1992).
Gambar 2.4.1 Teknik
kultur jaringan
Pelaksanaan
teknik kultur jaringan tanaman ini berdasarkan teori sel sperti yang
dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah
kemampuan setiap sel, darimana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan
dilingkungan yangsesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.Teknik kultur
jaringan akan berhasil dengan baik
Syarat-syarat
yang diperlukan (Prasetya, 1994):
1. Pemilihan eksplan sebagai
bahan dasar untuk pembentukkan kalus
2. Penggunaan medium yang cocok
Keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur
cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi
sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian
meristem, seperti: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya.
Bila menggunakan embrio bagian bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu
diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi (Sutedjo, 1988).
2.4 Keuntungan dan kekurangan Pemanfaatan Kultur Jaringan
Adapun keuntungan dari kultur jaringan
untuk perbanyakan tanaman antara lain (Sugandi, 1990):
1. Pengadaan bibit
tidak tergantung musim
Bibit dapat
diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam
1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit).
2.
Bibit yang
dihasilkan seragam
3.
Bibit yang
dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
4.
Biaya
pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
Dalam proses
pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya
5.
Dapat diperoleh
sifat-sifat yang dikehendaki
6.
Metabolit
sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa
Selain memiliki
kelebihan, kultur jaringan juga memiliki kekurangan dalam pemanfaatannya,
antara lain (Sugandi, 1990) :
1.
Bagi orang
tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
2.
Membutuhkan
modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium khusus), peralatan dan perlengkapan.
3.
Persiapan SDM
yang handal diperlukan untuk mengerjakan perbanyakan kultur
jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan
4.
Produk kultur
jaringan pada akarnya kurang kokoh
BAB III
KESIMPULAN
Tanaman vanili umumnya termasuk tanaman
yang dapat dikembangbiakkan dengan cara vegetatif melalui batang, sehingga
perbanyakan dari tanaman vanili dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan in vitro yaitu membudidayakan
suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti
induknya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina,
Lily, 2004, Dasar Nutrisi Tanaman, Cipta,
Jakarta.
Brownell, Peter. W. (1992) dalam Salisbury, B.F dan Ross,
W.Cleon, 1995, Fisiologi Tumbuhan,
Jilid 1, ITB Press, Bandung.
Direktorat Jendral Perguruan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kesuburan Tanah, Palembang.
Endang, G.Lestari, D. Sukmadjaja,
dan I. Mariska, 2006, Perbaikan Ketahanan
Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu Melalui Kultur In Vitro, Jurnal
Litbang Pertanian, 25(4), Bogor.
Giancoli,
Dougkas C. 1997, Fisika Dasar, Edisi
Lima, Erlangga, Jakarta.
Komaryanti, 1994, Pemanfaatan Limbah Padat Hasil Perlakuan Mikroorganisme (EM), Vol.
05 IKNES. Th II.
Lingga,
1992, Petunjuk Penggunaan Pupuk,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Marschner, H. (1996) dalam Rosmarkam, Afandi,
2005, Ilmu Kesuburan Tanah, Kanisius,
Yogyakarta.
Marsono dan Paulus Sigit, 2004, Pupuk Akar, Jenis dan Aplikasi,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Prasetya, Istiono dan Yan Kwee, 1994, Media G90N dan G90Na Sebagai Pemacu Awal
Pertumbuhan Akar Nodia Tunggal Vanili, BLKPPemprov Jatim.
Priyono, 2006, Regenerasi
Tanaman Vanili (Vanilla planifolia Andrew) melalui Kultur In Vitro, Jurnal
ILMU DASAR Vol. 7
No. 1, 2006 : 34-41.
Rismunandar,
1990, Pengetahuan Dasar tentang
Perabukan, Sinar Baru, Bandung.
Rosman, Rosihan , 2005, Status dan Strategi Pengembangan
Panili di Indonesia, Perspektif,
Volume 4 Nomor 2, Desember 2005 : 43 – 54, Bogor.
Rosmarkam, Afandi dan Nasih Widya Y, 2005, Ilmu Kesuburan Tanah, Kanisius,
Yogyakarta.
Ruhnayat,
A.,2003, Bertanam Vanili, PT.
Agro Media Pustaka, Jakarta.
Sa’id, E.G. dan Intan, H. (2001). Pembangunan
Agribisnis. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
Saragih, Bungaran (2000). Pembangunan Agribisnis. Pusat
Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Setyati,
Harjadi S, MM, 1996, Pengantar Agronomi,
PT. Gramedia, Jakarta.
Setyawidjaya.P.,
1986, Pupuk dan Pemupukan, CV.
Simplek, Jakarta.
Sugandi, E., 1990, Derajat Viabilitas Kuoltur Pucuk Vanili dalam Media MS dan G90, Laboratorium
Kultur Jaringan Fakultas Biologi Pertanian UKSW, Salatiga.
Sutedjo
dan Kartasaputra, 1988, Pupuk dan
Pemupukan, Rineka Cipta, Jakarta.
Sulistiyono, Andi, 2005, Pengaruh Pemberian Macam dan Konsentrasi
Ekstrak Alami untuk Penghambatan Penyakit Busuk Batang (Xanthomonas
campestris pv Vanillae) pada Stek Vanili (Vanilla planifolia Andrews)
Secara Hidroponik.
Suyatmi, 2005, Pemberian Macam Ekstrak untuk Penghambatan Penyakit Fusarium pada Tanaman
Vanili (Vanilla planifolia Andrews)
Tjahjadi, N., 1987, Bertanam Panili, Kanisius,Yogyakarta.
Prospek kedepan yang menjanjikan.
BalasHapusTrims infonya.
Prospek kedepan yang menjanjikan.
BalasHapusTrims infonya.
Ada gak media yg sudah jadi siap pakai yg dijual
BalasHapus